Kabar Publik Jakarta | Beberapa hari lalu beredar sebuah deklarasi tertanggal 29 Agustus 2023, yang mengatasnamakan sejarawan, pendidik, akademisi, pegiat seni dan budaya, aktivis, dan warga masyarakat yang hendak kembali menyerukan pentingnya kebenaran dan keadilan ditegakkan atas sejarah maupun masa depan bangsa. Sebuah niat yang harus diapresiasi dan dihormati, karena memperoleh keadilan dan kebenaran adalah hak setiap warga negara.
Menurut deklarasi itu, “kami tidak ingin bangsa kita terbelenggu oleh kekerasan politik masa silam yang terus berulang tanpa penyelesaian yang adil bagi korban”. Kekerasan politik itu harus diakhiri, agar kita sebagai bangsa dapat melangkah secara bermartabat di dunia internasional”.
Tetapi, membaca deklarasi yang tidak jelas penanggung jawabnya tidak berbeda dengan membaca surat kaleng yang beretorika fitnah. Menurut artikel yang dikeluarkan oleh eksponen NU yang pernah menulis, “Menghadapi Manuver Neo-Komunis”, deklarasi ini disebut sebagai kelanjutan dari kegiatan, seperti yang dilakukan oleh Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), Bedjo Untung.
Dengan mudah ditengarahi, bahwa deklarasi ini sengaja diungkap kepada masyarakat terkait rekomandasi kedua TPP HAM, yaitu melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah yang disampaikan kepada Pemerintah dalam hal ini, Presiden RI selaku Kepala Negara.
Menurut Wikipedia, kekerasan politik adalah kekerasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik, baik tujuan politik negara maupun non-negara. Dalam hal kekerasan politik non-negara, dapat dilakukan baik terhadap negara maupun warga sipil yang berupa penculikan, penargetan asasinasi, serangan teroris maupun penyiksaan dll.
Apabila dikaitkan peristiwa G.30.S/PKI 1965, apakah kekerasan PKI terhadap alat negara yang menarget perwira dan anggota TNI AD bukan tergolong kekerasan politik yang ditujukan kepada negara?. Sebab, target politiknya jelas, yaitu kepentingan politik PKI untuk berkuasa.
Deklarator seharusnya berani menjelaskan siapa pelaku kekerasan politik dimaksud.
Menyimak tuntutan upaya negara guna mengakhiri kekerasan politik, tuntutan tersebut harus diapresiasi sebagai kehendak luhur dan niat baik. Tetapi dalam konteks pengungkapan kebenaran, muncul pertanyaan, apakah Buku G.30 S/PKI versi negara adalah buku yang salah?.
Menurut para penyusun, penulis dan sumbernya, mereka menggunakan fakta-fakta di lapangan dan hasil-hasil sidang Mahmilub yang terbuka melalui media masa untuk dijadikan bahan penyusunan buku G.30.S/PKI. Sebagian pelaku tersangka adalah anggota militer aktif yang memihak dan berkomplot kepada PKI. Mereka membunuh pimpinannya dan memberontak kepada negara. Apakah sumber pengadilan terbuka dan fakta yang diliput luas oleh media adalah keterangan hoax?.
Apabila pasca G.30.S/PKI dilaksanakan operasi militer, operasi tersebut adalah perlawanan balas terhadap pemberontakan PKI, sebagai wujud tugas menyelamatkan negara.
Tentu menyalahkan aparat negara secara serampangan dengan menstigma sebagai pelaku pelanggaran HAM yang berat tanpa melalui pengadilan, adalah tindakan sewenang-wenang.
Dalam perspektif kekerasan politik, tuntutan pembuat deklarasi sangat mudah dibaca, bahwa pihaknya berusaha mengelak dari sebutan pelaku kekerasan politik. Sebuah upaya pembalikan sejarah untuk menjustifikasi, bahwa aparat keamanan negara yang melakukan kekerasan politik. Langkah ini adalah agenda untuk tujuan politik, yaitu pembenaran terhadap pemberontakan yang mereka lakukan dan kepentingan PKI untuk kembali hidup kembali.
Benar, apabila banyak oknum aparat keamanan melakukan pelanggaran, tetapi PKI telah lebih dahulu melakukannya.
Terkait tuntutan negara untuk meminta maaf, ini adalah tuntutan irasional. Mengapa PKI yang memberontak tetapi negara yaang harus meminta maaf ?. Mungkin pemerintahan negara saat ini, mereka persepsi mudah ditekan atau sedang dilanda virus PKI. Mereka sedang merancang politik pampasan perang sedang untuk minta ganti rugi kepada negara.
Demikian pula pernyataan “negara menutupi hakikat kekerasan politik masa lalu dan melegitimasi penyimpangan kekuasaan negara harus dikoreksi”.
Pertanyaannya, apa dasar deklarator membuat pernyataan ini?. Sebuah retorika politik pembenaran.
Sedangkan tuduhan pemerintah menciptakan iklim ketakutan, faktanya tidak ada bukti yang mereka ungkapkan.
Tetapi dalam konteks tindak lanjut Keppres 17/2022, blow up media justru memberi petunjuk bahwa perlakuan negara tidak adil.
Demikian pula pengakuan Kepala Negara telah terjadi 12 pelanggaran HAM berat. Tersirat jelas dalam pengakuan ini, aparat keamanan negara diakui melakukan pelanggaran HAM berat, tetapi tidak tersirat PKI melakukan pemberontakan dan pelanggaran HAM berat.
Sebuah pengakuan yang sangat tendensius.
Dibagian lain mereka juga mengungkap frasa “menciptakan musuh-musuh fiktif”. Sebuah pernyataan yang tidak berdasar. Salah satu dari banyak contoh adalah kasak-kusuk eks PKI di DPR-RI dalam proses RUU HIP yang tidak masuk dalam daftar RUU yang dibahas.
Beruntung dihentikan oleh Pemerintah atas desakan para Purnawirawan TNI-Polri.
Haruskah negara segera dan tanpa syarat menunaikan kewajiban konstitusionalnya melakukan penulisan ulang sejarah demi mengungkapkan kebenaran, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menegakkan keadilan?.
Melihat fakta dan fenomena yang ada sebuah tuntutan ambigu dan pemaksaan berdasar cerita jalanan.
Begitupun, sebagai masyarakat bangsa yang menghormati HAM, kami ingin mengatakan, sah-sah saja setiap warga negara membuat deklarasi, sebagai implementasi hak konstitusional untuk kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi di muka umum. Tetapi memaksakan hak konstitusi untuk pembalikan sejarah adalah kemunafikan.
Penulis oleh : Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono