MEDAN
Untuk meneliti peran mahasiswa dalam menjaga keutuhan bangsa, kelompok 9 dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang dibimbing oleh Bapak Onan Marakali Siregar melakukan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif kepada beberapa mahasiswa/i Universitas Sumatera Utara dari berbagai fakultas. Wawancara ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai peran mahasiswa dalam menyalurkan aspirasi mereka dan masyarakat di sekitarnya dari sudut pandang mahasiswa itu sendiri.
Dhandy Bintang Hasibuan, seorang mahasiswa Teknik Komputer dan Informatika Politeknik Negeri Medan, menanggapi bahwa aksi mahasiswa terlihat cukup anarkis di matanya. Hal ini berdasarkan pengamatannya di lapangan dan media sosial, di mana banyak aksi-aksi kasar dan kekerasan fisik terjadi. Menurutnya, diskusi publik dan terbuka sudah cukup untuk menyuarakan aspirasi tanpa perlu melakukan tindakan kekerasan.
“Solusi dari saya adalah bagaimana kita bisa saling berdiskusi terbuka bersama parlemen di gedung DPR. Tapi sayangnya, mereka yang dianggap sebagai wakil rakyat, tidak menunjukkan bahwa mereka adalah wakil rakyat,” ujarnya saat diwawancarai di Politeknik Negeri Medan pada 20 September lalu.
Di sisi lain, Maharani Balqis Purba, seorang mahasiswi Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, berpendapat bahwa aksi mahasiswa adalah langkah yang efisien. Menurutnya, aksi tersebut merupakan bentuk representasi mahasiswa agar dapat dilirik dan didengar oleh pemerintah. Ia beranggapan bahwa berorasi di media sosial saja tidak cukup untuk menyampaikan aspirasi.
“Jika kita turun ke jalan bersama-sama, pemerintah akan merasakan dampaknya. Terkait fasilitas yang rusak itu tergantung kita sebagai individu. Kenapa kita merusak fasilitas umum, padahal tujuan demo adalah menyampaikan suara kita atau suara rakyat. Mahasiswa adalah perpanjangan tangan dari masyarakat ke pemerintah. Jadi menurut saya, aksi demonstrasi ini tidak masalah,” ujarnya kepada kelompok 9.
Sebagian besar mahasiswa sepakat bahwa secara substansial, aksi demonstrasi cukup efisien karena merupakan salah satu bentuk protes yang efektif untuk mendapatkan respons dari pemerintah. Selain itu, konsolidasi dan diskusi terbuka juga dapat menjadi alternatif untuk menyampaikan aspirasi.
Saat ditanya mengapa mahasiswa lebih frontal dalam membahas pemerintahan, politik, dan kenegaraan, Aurick Muhammad, mahasiswa Ilmu Komputer Universitas Sumatera Utara, berpendapat bahwa mahasiswa dibentuk untuk berpikir kritis. Ia menyebutkan bahwa organisasi seperti BEM memberikan wadah bagi mahasiswa untuk berpendapat.
“Sebenarnya mahasiswa sudah berada di posisi yang ideal. Kita sudah diwadahi, entah dari BEM atau lainnya. Jadi kita sudah sangat ideal. Tempat untuk berpendapat sudah disediakan. Kita kritis, karena kita bukan hanya penerima kebijakan, tetapi sebagian dari kita mungkin nantinya akan berada di pemerintahan,” katanya.
Evan Sitompul, mahasiswa Hukum Universitas Sumatera Utara, menambahkan bahwa banyak demonstrasi mahasiswa yang tidak hanya menyuarakan isu pemerintahan dan politik, tetapi juga isu-isu lain yang diinisiasi secara independen oleh fakultas atau organisasi mereka masing-masing. Menurutnya, mahasiswa terkesan lebih frontal terkait isu pemerintahan karena framing media yang besar terhadap aksi-aksi tersebut.
“Jika kita menelisik lebih dalam, tidak hanya tentang kebijakan pemerintah yang sering kita suarakan, banyak juga aksi atau demo lain yang dilakukan mahasiswa secara independen, baik dari fakultasnya atau dari NGO yang merangkul mahasiswa,” ujarnya.
Dari wawancara yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa memiliki pandangan dan interpretasi yang beragam mengenai demonstrasi. Namun, dari keseluruhan opini yang disampaikan, terlihat bahwa mahasiswa memiliki kompas kritis yang masih jernih. Semangat dan visi mahasiswa, khususnya narasumber dalam artikel ini, menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.(DAFA)