KABAR PUBLIK JAKARTA | Pengesahan RUU Perampasan aset terus tertunda. Meskipun naskah akademik RUU ini sudah ada sejak tahun 2012 lalu namun hingga saat ini pengesahaannya tidak kunjung menemui titik terang.
Pembahasannya pun belum tampak jelas di tahun ini meskipun RUU tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
Padahal, RUU ini bisa menjadi instrumen kunci untuk mendukung pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi di Indonesia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) Tri Natalia Urada menegaskan bahwa bila pembahasan RUU Perampasan Aset ini terus ditunda maka masyarakat akan mempertanyakan mengenai keseriusan Pemerintah dalam menangani dan mengatasi kasus-kasus korupsi dan kejahatan ekonomi di Indonesia.
“Hal ini penting karena selama ini pelaku korupsi mendapatkan vonis ringan dan jauh dari tuntutan hukum yang sebenarnya” ucapnya, Jumat (31/3/2023).
Melalui RUU ini, DPR diuji keseriusan dan kontribusinya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Namun, DPR kerap kali mengganggap agenda ini sebagai ancaman yang harus dihentikan karena takut menjadi bumerang yang akan menyerang balik keberadaan mereka sendiri. Hal ini disinyalir jadi salah satu alasan lambat dan penundaan pembahasan RUU tersebut.
Menurut Tri Natalia Urada, RUU Perampasan Aset tersebut mendesak untuk disahkan seiring dengan merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
Lanjutnya, berdasarkan data Transparency International Indonesia, pada 2022, Indonesia mencatatkan skor IPK sebesar 34, menurun dari capaian tahun sebelumnya, yakni 38. Skor itu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Penurunan pun menjadi yang tertinggi sejak 1995.
Penurunan drastis itu salah satunya terjadi karena tingginya risiko korupsi politik. Dalam survei disebutkan, indikator Political Risk Service (PRS) merosot dari 48 poin pada 2021 menjadi 35 pada 2022. Hal-hal yang terkait dengan PRS di antaranya korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta suap terkait izin ekspor dan impor. Dari hasil penelusuran di survei dimaksud, korupsi politik semacam itu masih lazim terjadi.
Oleh karena itu, Ketua Umum PP PMKRI, Mendesak kepada DPR RI untuk segera disahkan
RUU Perampasan Aset tersebut. Pengembalian aset atau asset recovery yang bertujuan untuk membekukan atau mengembalikan aset yang di dapat dari hasil kegiatan korupsi tindak kejahatan, selama ini yang dilakukan hanya pada koruptornya.
Namun, dengan disahkannya RUU Perampasan Aset ini, maka upaya pemberantasan korupsi akan jauh lebih progresif untuk memperkuat landasan bagi penegak hukum dalam mengambil kembali aset-aset hasil tindak pidana tanpa harus didahului putusan pengadilan.
Selain itu, lanjut Tri Natalia Urada hal medesak lain dalam RUU Perampasan Aset ini urgen untuk segera disahkan adalah mengatur kewajiban bagi korporasi untuk melaporkan asetnya ke Pemerintah. Pelaporan kepemilikan aset oleh korporasi kepada negara ini dengan tujuan pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Karena rentan jika aset-aset para pengusaha itu tidak dilaporkan maka akan sangat dimungkinkan sebagai tempat pencucian uang para pejabat, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Karena itu, upaya Menko Polhukam Mahfud MD untuk mempercepat pengesahan RUU Perampasan Aset ini menjadi signal yang baik bagi publik bahwa Pemerintah serius mendorong pembahasan RUU ini menjadi UU. Itikad baik dan upaya ini harus didukung oleh DPR RI.